KEBUTUHAN
MANUSIA TERHADAP DAKWAH
A. Hakikat Manusia
1.
Pengertian Manusia
Menurut
bahasa, manusia itu sendiri berasal dari kata “Nasia” yang artinya lupa.
Maksudnya adalah bahwa manusia hakikatnya lupa akan perjanjian dengan Allah
sewaktu di alam ruh. Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan
menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni
al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam[11]. Manusia
disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran
dan peringatan. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti
gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang
berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti
jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia
disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu
disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia
menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa
tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa
dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan
istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi
dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan
kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian
juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu
menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat
dalam surah al-Baqarah ayat 35.
“Dan Kami
berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan
janganlah kamu dekati pohon ini[37], yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang
yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 35)
Manusia
dalam pandangan al-Qur’an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk
penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan
manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam
dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat
membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas
tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur’an
memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai
manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai
cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan,
mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan
argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru
memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju
suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia
harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan
di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk
spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena
itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan
indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian
semulia itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik
benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses
pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan
yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup
manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu
sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu
menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia
berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran
al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada
teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa
kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara
tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut
Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga
pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran
dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui
superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah)
berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego
pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink,
intuisi, dan intelegensi ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama
bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran
pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak
terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat
manusia itu sendiri.
2. Tugas
manusia
Tugas
manusia di muka bumi berdasarkankan tuntunan Al-Qur’an setidaknya ada dua,
yaitu sebagai khalifah dan sebagai ma’bud. Dari dua tugas tersebut, dalam
perspektif filsafat dakwah, bisa ditarik suatu benang, bahwa tugas manusia
adalah sebagai subjek dakwah (da’i) dan objek dakwah (mad’u). karena pada
dasarnya da’i dan mad’u merupakan tugas manusia sebagai wujud dari perilaku
ma’bud pula, sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya dan sabda Rasulullah
saw yang pada intinya memerintahkan untuk melaksanakan dakwah, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya.
3. Subjek
Dakwah (Da’i)
Da’i/muballigh
adalah setiap orang yang mengajak, memerintahkan orang di jalan Allah
(fi-Sabiilillah), atau mengajak orang untuk memahami dan mengamalkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah nabi Muhammad SAW. Berhasil tidaknya gerakan
dakwah sangat ditentukan oleh kompetensi seorang da’i, yang dimaksud
dengan kompetensi da’i adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan, dan
prilaku serta keterampilan yang harus dimiliki oleh para da’i, oleh karena itu
para da’i harus memilikinya, baik kompetensi substantif maupun kompetensi
metodologis
3. Objek
Dakwah (Mad’u)
Objek
dakwah (mad’u) ialah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia,
sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Kami
tidak mengutus kamu, melainka kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. As-Saba’: 28)
B. Kebutuhan
Manusia Terhadap Dakwah
- Teori kebutuhan manusia
Secara
fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan, karena itulah
pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju
dan mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan
mengarahkan dan mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk
digunakan sebagai sarana untuk mencapai “spirituality progress”[12].
Di
masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa dilupakan, bahkan tidak sesaat-pun
manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan
praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak
mulai tidaur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi
menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat. Ponsel yang tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan sehari-hari masyarkat Indonesia bisa menjadi alat bantu untuk
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan melalui fitur-fitur spiritual.
Maraknya
penggunaan fitur spiritual ini sebenarnya tak hanya merebak di Indonesia.
Menurut Craig Warren Smith, Senior Advisor University of Washington’s Human
Interface Technology Laboratory, spiritual computing telah ada di negara-negara
lain, seperti penggunaan fitur spiritual untuk umat Budha. Menurut Craig,
nantinya fitur spritual akan menjadi faktor penting dalam keagamaan.
Berdasarkan
penelitian beberapa ahli dari Georgia Institute of Technology Atlanta dan
Computer Science & Engineering, University of Washington tentang Sacred
Imagery in Techno-Spiritual Design, biasanya orang memakai fitur spiritual semacam
ini untuk mendukung aktivitas ibadah mereka. Misalnya Gospel Spectrum, sebuah
sistem visualisasi informasi yang memungkinkan penggunanya mempelajari Bible
secara visual. Belum lagi fitur spritual untuk umat Budha dan sebagainya.
Salah
satu contoh fitur spiritual yang dekat dengan masyarakat Indonesia saat ini
adalah Athan Time. Aplikasi ini mengingatkan penggunanya untuk menjalankan
solat lima waktu. Ini merupakan salah satu fitur yang dibuat untuk mendukung
praktik techno-spiritual secara efektif. Selain itu, fitur ini juga berfungsi
menghubungkan orang dengan pengalaman religius mereka. Beberapa responden dari
penelitian yang dilakukan oleh Susan P. Wyche, Kelly E. Caine, Benjamin K,
Davison, Shwetak N. Patel, Michael Arteaga, dan Rebecca E. Grinter menyebutkan,
penggunaan fitur spiritual Islami, membuat mereka “melihat dan merasakan”
spiritualitas yang ada.
Menjelang
akhir hayatnya, Abraham Maslow menyadari dan menemukan adanya kebutuhan yang
lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu, yaitu yang disebut sebagai
kebutuhan transcendental. Berbeda dengan kebutuhan lainnya yang bersifa
horizontal (berkaitan hubungan antara manusia dengan manusia), maka kebutuhan
transcendental lebih bersifat vertikal (berakaitan dengan hubungan manusia
dengan Sang Pencipta). Muthahhari, Seorang filsuf muslim dunia yang
menghasilkan banyak karya filosofis berharga– pernah menyatakan bahwa manusia
itu sejati dan senyatanya adalah sosok makhluk spiritual.[13]
Maka
tak aneh kalau kemudian muncul istilah Spritual Quantient (SQ) yang membahas
‘siapa saya’. Istilah SQ menjadi populer melalui buku SQ: Spritual Quotient,The
Ultimate Intelligence (London, 2000) karya Danah Zohar dan Ian Marshall,
masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. SQ diklaim
memiliki dasar dan bukti ilmiah. Pakar neurosains pada tahun 1990-an menemukan
adanya “Titik Tuhan” atau God Spot di dalam otak. Titik Tuhan ini adalah
sekumpulan jaringan saraf yang terletak di daerah lobus temporal otak, bagian
yang terletak di balik pelipis. Dari eksperimen yang menggunakan sensor
magnetis ditemukan adanya korelasi antara aktivitas berpikir tentang hal sakral
seperti kedamaian, cinta, kesatuan, Tuhan dengan aktivitas magnet pada lobus
temporal otak. Yang sangat sesuai dengan pembahasan dalammakalah ini adalah
berkenaan dengan kebutuhan manusia terhadap spiritual
Berdasarkan
kajian terhadap hakikat manusia, dapat dipahami secara filosofis alasan
manusia harus didakwahi. Manusia adalah makhluk yang mudah lupa (tempatnya
salah dan lupa). Oleh karena itu, dakwah merupakan hal yang begitu penting bagi
manusia, khususnya bagi mad’u sebagai media untuk mengingatkan dan meninjau
atas hal-hal yang sering dilupakan manusia (ajaran agama). Tidak hanya untuk
mad’u, tetapi penting pula bagi da’i sebagai bahan introsfeksi diri,
mengingatkan kembali terhadap hal-hal yang ia lupakan.
- Ditinjau dari teori kebutuhan manusia
Dilihat
dari teori kebutuhan manusia (kebutuhan spiritual), dapat dipahami pula bahwa
manusia membutuhkan akan ketenangan jiwa. Salah satu caranya adalah melalui
jalan ibadah. Manusia tidak akan mampu beribadah apabila tidak ada dakwah. Oleh
karena itu, dakwah begitu penting bagi manusia.
Ada
dua aspek makna pentingnya dakwah bagi manusia, yaitu:
a.
Memelihara dan mengembalikan martabat manusia
Dakwah
adalah upaya para da’i agar manusia tetap menjadi makhluk yang baik, bersedia
mengimani dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam, sehingga hidupnya
menjadi baik, hak-hak asasinya terlindungi, harmonis, sejahtera, bahagia di
dunia dan di akhirat terbebas dari siksaan dari api neraka dan memperoleh
kenikmatan surga yang dijanjikan. Ketinggian martabat manusia itulah yang
dikehendaki Allah SWT. Sehingga manusia dapat menjalakan fungsinya sesuai
dengan tujuan penciptaan-Nya, yaitu sebagai khalifah-Nya. Bukannya makhluk yang selalu menimbulkan
kerusakan dan pertumpahan darah seperti yang dikhawatirkan oleh para malaikat.
Oleh
sebab itu dakwah harus bertumpu pada tauhid, menjadikan Allah sebagai titik
tolak dan sekaligus tujuan hidup manusia. Diatas keyakinan tauhid itulah
manusia harus melakukan kewajiban menghambakan diri (mengabdi) kepada Allah
yang wujudnya secara vertikal menyembah kepada Allah SWT., dan horizontal
menjalankan sebuah risalah atau misi yaitu menata kehidupan sesuai dengan yang
dikehendaki Allah SWT. Hal ini karena dakwah adalah mengajak orang untuk hidup
mengikuti ajaran Islam yang bertumpu pada tauhid. Diatas fondasi tauhid itulah
Islam dibangun untuk dipedomani pemeluknya supaya hidupnya selalu baik dan
tidak seperti binatang ternak atau makhluk yang lebih rendah dari binatang.
b.
Membina akhlak dan memupuk semangat kemanusiaan
Dakwah
juga penting dan sangat diperlukan oleh manusia karena tanpanya manusia akan
sesat. Hidupnya menjadi tidak teratur dan kualitas kemanusiannya merosot.
Akibatnya manusia akan kehilangan akhlak seperti nuraninya tertutup, egois,
rakus, liar, akan saling menindas, saling “memakan” atau saling “memeras”,
melakukan kerusakan diatas dunia, sehingga konstatasi malaikat bahwa manusia
sebagai makhluk perusak di bumu dan penumpah darah akan menjadi kenyataan.
Tanpa
adanya dakwah manusia akan kehilangan cinta kasih, rasa keadilan, hati nurani,
kepedulian sosial dan lingkungan, karena manusia akan menjadi semakin egois,
konsumeristis, dan hedonis. Manusia hanya akan mementingkan dirinya sendiri
tanpa mau memikirkan lingkungannya dan tidak peduli terhadap kesulitan dan penderitaan
masyarakat lain. Manusia juga akan memanfaatkan apa saja untuk memuaskan hawa
nafsunya.
Drs.
Syukriadi Sambas, M.Si dalam bukunya memperinci kebutuhan manusia terhadap
dakwah yaitu sebagai berikut[14]:
- Manusia telah bersyahadan ketika di alam roh bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Syahadah ini disebut dengan perjanjian ketuhanan (‘ahd Allah) dan fitrah Allah. Namun manusia menjadi lupakan perjanjian itu setelah ruh bersatu dengan jasad dalam proses kejadian manusia lahir di alam dunia. Dakwah islam ini diperlukan untuk mengaktualkan syahadah ilahiyah dalam kehidupan nyata
- Imam Syafi’i berkata:
“Cahaya di
dalamhati pluktuatif, kadang bertambah dan kadang berkurang”. Karena itu,
dakwah diperlukan untuk mengantisifasi keadaan hati yang berkurang dan
memposisikannya dalam keadaan bertambah.
- Dakwah Islam menjadi dasar dan alasan bagi akal untuk melaksanakan kewajiban beriman kepada Allah, sebab sebelum datangnya dakwah yang dibawa Rasulullah manusia tidak akan mendapat azab. (pendapat ‘Asy’ariyah Bukhoro)
- Karakter agama Islam itu sendiri yang mengidentifikasikan dirinya sebagai penyebar kasih saying Tuhan bagi seluruh alam, dan wilayah kerasulan Rasul terakhir berlaku untuk seluruh jagat raya. Dalam halini, Alla berfirman:
“Dan
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. Katakanlah: “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya
Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)”.
(QS. Al-Anbiya: 107-108)
Selanjutnya,
dakwah itu harus dilakukan karena alasan sebagai berikut:
- Potensi baik dan buruk yang Allah berikan[15]
Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT berfirman:
“Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS.
As-Syams: 8)
Dalam
ayat di atas dapat difahami bahwa manusia itu mempunyai potensi untuk berbuar
baik dan buruk. Maka setiap orang memerlukan nasihat dan pendidikan yang
maksimal berupa dakwah untuk mengoptimalkan kebaikan yang ada. Sehingga setiap
manusia akan condong kepada kebaikannya, dan keburukan akan terminimalisasi.
- Lingkungan keluarga sebagai pendidikan pertama[16]
Rasulullah
saw pun bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, dan orang
tuanyalah yang mengarahkannya menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (HR.
Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, lingkungan keluarga merupakan
pendidikan awal bagi anak-anak dalam membentuk akhlak, moral, dan
kepribadiannya. Pendidikan dalam hal ini bisa disebut dakwah.
C. Akibat Ketika
Manusia tidak Didakwahi dan Tidak Melaksanakan Dakwah
Melihat
dan mengingat pentingnya dakwah bagi manusia berdasarkan hakikat manusia,
hakikat dakwah dan teori kebutuhan manusia, maka akibat yang akan diperoleh
manusia apabila manusia tidak didakwahi atau dakwah tidak dilaksanakan adalah
sebagai berikut:
- Karena manusia pada hakikatnya pelupa, maka manusia akan tetap dalam kebodohan terhadap akhlak dan moralitas sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyyah.
- Manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya, yang memang sangat penting kebutuhan itu terpenuhi.
- Cahaya hati pada manusia selalu dalam keadaan berkurang
- Akal tidak akan dipandu oleh pengetahuan-pengetahuan agama (syari’at Islam), sehingga perilakunya cenderung mengikuti akal dan hawa nafsu.
- Eksistensi Tuhan tidak akan dikenal oleh manusia,karena melalui dakwah para utusan-Nya lah eksistensi Tuhan ada.
- Potensi baik pada manusia yang Allah anugrahkan tidak akan termaksimalkan, malahan potensi keburukan lah yang akan lebih menguasai, disebabkan oleh akal dan nafsu yang membimbingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar