Minggu, 05 Mei 2013

KONFLIK DALAM HUBUNGAN ANTAR PRIBADI




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan. Konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu tindakan pihak lain (Johnson, 1981)
Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini berarti, bila kita ingin mengetahui konflik, kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Menurut Myers, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi, yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik. Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. 
B.     Rumusan Masalah
      1. Jelaskan pengertian konflik ?
      2. Jelaskan jenis-jenis konflik ?
      3. Jelaskan factor penyebab terjadinya konflik ?
      4. Jelaskan strategi dalam mengatasi konflik ?
C.    Tujuan Penulisan
      1. Menjelaskan pengertian konflik.
      2.  Menjelaskan jenis-jenis konflik.
      3.  Menjelaskan factor penyebab terjadinya konflik.
      4. Menjelaskan strategi dalam mengarasi konflik.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
B.     Jenis-Jenis Konflik
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel, terdapat lima jenis konflik yaitu:
  • Konflik Intrapersonal, Yaitu konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligu
  • Konflik Interpersonal, Yaitu pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain.
  • Konflik antar individu dan kelompok, Yaitu berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.
  • Konflik antara kelompok, Yaitu konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama. Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf merupakan merupakan contoh konflik antar kelompok
  • Konflik antara organisasi, Yaitu disebut dengan persaingan. Namun berdasar pengalaman, konflik ini ternyata menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.

C.    Faktor Penyebab Konflik dalam Hubungan Antarpribadi
Ada beberapa yang dapat menimbulkan terjadinya konflik dalam suatu hubungan antar pribadi. Beberapa penyebab tersebut antara lain 

1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik, sebab dalam menjalani hubungan, seseorang tidak selalu sejalan dengan orang lain.
Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik

3Perbedaan kepentingan antara individu.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

D.    Strategi dalam Mengatasi Konflik
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik :
  1.  Berkompetisi, Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang-kalah akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan.Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan-bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
  2. Menghindari konflik, Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, membekukan konflik untuk sementara.
  3.  Akomodasi, Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.
  4. Kompromi, Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi yang saling menguntungkan.
  5. Berkolaborasi, Menciptakan situasi seri dengan saling bekerja sama. Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadi hal yang harus kita pertimbangkan.
Namun biasanya kita tidak menyadari cara bertingkah laku kita dalam situasi-situasi konflik. Apa yang kita lakukan seolah-olah terjadi begitu saja. Maka bila kita terlibat dalam suatu konflik dengan orang lain, ada dua hal yang harus kita pertimbangkan :
Ø  Tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan pribadi kita.
Ø  Hubungan baik dengan pihak lain.
Cara kita bertingkah laku dalam suatu konflik dengan orang lain, akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan-tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain kita rasakan. Berdasarkan dua pertimbanan di atas, dapat ditemukan lima gaya dalam mengelola konflik antarpribadi (Johnson, 1981) :
a)      Gaya kura-kura
Konon, kura-kura lebih senang menarik diri bersembunyi di balik tempurung badannya untuk menghindari konflik. Mereka cenderung menghindar dari pokok-pokok masalah maupun dari orang-orang yang dapat menimbulkan konflik.
Mereka percaya bahwa setiap usaha memecahkan konflik hanya akan sia-sia. Lebih mudah menarik diri, secara fisik maupun psikologis, dari konflik daripada menghadapinya.
b)      Gaya ikan hiu
Ikan hiu senang menaklukkan lawan dengan memaksanya menerima solusi konflik yang ia sodorkan. Baginya, tercapainya tujuan pribadi adalah yang utama, sedangkan hubungan dengan pihak lain tidak terlalu penting.
Konflik harus dipecahkan dengan cara satu pihak menang dan pihak lainnya kalah. Watak ikan hiu adalah selalu mencari menang dengan cara menyerang, mengunggli dan mengancam ikan-ikan lain.
c)      Gaya kancil
Seekor kancil sangat mengutamakan hubungan, dan kurang mementingkan tujuan-tujuan pribadinya. Ia ingin diterima dan disukai binatang lain.
Ia berkeyakinan bahwa konflik harus dihindari, demi kerukunan. Setiap konflik tidak mungkin dipecahkan tanpa merusak hubungan. Konflik harus didamaikan, bukan dipecahkan, agar hubungan tidak menjadi rusak.
d)     Gaya rubah
Rubah senang mencari kompromi. Baginya, baik tercapainya tujuan-tujuan pribadi maupun hubungan baik dengan pihak lain sama-sama cukup penting. Ia mau mengorbankan sedikit tujuan-tujuannya dan hubungannya dengan pihak lain demi tercapainya kepentingan dan kebaikan bersama.
e)      Gaya burung hantu
Burung hantu sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadinya sekaligus hubungannya dengan pihak lain. Baginya konflik merupakan masalah yang harus dicari pemecahannya. Pemecahan itu harus sejalan dengan tujuan-tujuan pribadinya maupun lawannya. Konflik bermanfaat meningkatkan hubungan dengan cara mengurangi ketegangan diantara dua pihak yang berhubungan.
Menghadapi konflik, burung hantu akan selalu berusaha mencari penyelesaian yang memuaskan kedua pihak. Penyelesaian yang juga mampu menghilangkan ketegangan serta perasaan negatif lain yang mungkin muncul di dalam diri kedua pihak akibat konflik itu.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Jenis-Jenis Konflik yaitu: Konflik Intrapersonal; Konflik Interpersonal; Konflik antar individu dan kelompok; Konflik antara kelompok; Konflik antara organisasi.
Terdapat beberapa Faktor Penyebab Konflik dalam Hubungan Antar pribadi yaitu : Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan; Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda; Perbedaan kepentingan antara individu.
Strategi dalam Mengatasi Konflik yaitu : Gaya kura-kura; Gaya ikan hiu; Gaya kancil; Gaya rubah; Gaya burung hantu.

B.     Saran
Diharapkan setelah para pembaca membaca makalah ini, pembaca dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang terdapat dalam makalah ini serta dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dapat melakukan hubungan antar manusia dengan baik tanpa konflik.


DAFTAR PUSTAKA
A. Supratiknya. 1995. Komunikasi Antar Pribadi : Tinjauan Psikologis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Kamis, 02 Mei 2013

FILSAFAT DAKWAH



KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH
A.     Hakikat Manusia
1.  Pengertian Manusia
Menurut bahasa, manusia itu sendiri berasal dari kata “Nasia” yang artinya lupa. Maksudnya adalah bahwa manusia hakikatnya lupa akan perjanjian dengan Allah sewaktu di alam ruh. Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam[11]. Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini[37], yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 35)
Manusia dalam pandangan al-Qur’an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
2.   Tugas manusia
Tugas manusia di muka bumi berdasarkankan tuntunan Al-Qur’an setidaknya ada dua, yaitu sebagai khalifah dan sebagai ma’bud. Dari dua tugas tersebut, dalam perspektif filsafat dakwah, bisa ditarik suatu benang, bahwa tugas manusia adalah sebagai subjek dakwah (da’i) dan objek dakwah (mad’u). karena pada dasarnya da’i dan mad’u merupakan tugas manusia sebagai wujud dari perilaku ma’bud pula, sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya dan sabda Rasulullah saw yang pada intinya memerintahkan untuk melaksanakan dakwah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
3.  Subjek Dakwah (Da’i)
Da’i/muballigh adalah setiap orang yang mengajak, memerintahkan orang  di jalan Allah (fi-Sabiilillah), atau mengajak orang  untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah nabi Muhammad SAW. Berhasil tidaknya gerakan dakwah  sangat ditentukan oleh kompetensi seorang da’i, yang dimaksud dengan kompetensi da’i adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan, dan prilaku serta keterampilan yang harus dimiliki oleh para da’i, oleh karena itu para da’i harus memilikinya, baik kompetensi substantif maupun kompetensi metodologis
3.  Objek Dakwah (Mad’u)
Objek dakwah (mad’u) ialah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia, sebagaimana firman Allah SWT :
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainka kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. As-Saba’: 28)
 B.    Kebutuhan Manusia Terhadap Dakwah
  1. Teori kebutuhan manusia
Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan, karena itulah pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai sarana untuk mencapai “spirituality progress”[12].
Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa dilupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai tidaur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat. Ponsel yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarkat Indonesia bisa menjadi alat bantu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan melalui fitur-fitur spiritual.
Maraknya penggunaan fitur spiritual ini sebenarnya tak hanya merebak di Indonesia. Menurut Craig Warren Smith, Senior Advisor University of Washington’s Human Interface Technology Laboratory, spiritual computing telah ada di negara-negara lain, seperti penggunaan fitur spiritual untuk umat Budha. Menurut Craig, nantinya fitur spritual akan menjadi faktor penting dalam keagamaan.
Berdasarkan penelitian beberapa ahli dari Georgia Institute of Technology Atlanta dan Computer Science & Engineering, University of Washington tentang Sacred Imagery in Techno-Spiritual Design, biasanya orang memakai fitur spiritual semacam ini untuk mendukung aktivitas ibadah mereka. Misalnya Gospel Spectrum, sebuah sistem visualisasi informasi yang memungkinkan penggunanya mempelajari Bible secara visual. Belum lagi fitur spritual untuk umat Budha dan sebagainya.
Salah satu contoh fitur spiritual yang dekat dengan masyarakat Indonesia saat ini adalah Athan Time. Aplikasi ini mengingatkan penggunanya untuk menjalankan solat lima waktu. Ini merupakan salah satu fitur yang dibuat untuk mendukung praktik techno-spiritual secara efektif. Selain itu, fitur ini juga berfungsi menghubungkan orang dengan pengalaman religius mereka. Beberapa responden dari penelitian yang dilakukan oleh Susan P. Wyche, Kelly E. Caine, Benjamin K, Davison, Shwetak N. Patel, Michael Arteaga, dan Rebecca E. Grinter menyebutkan, penggunaan fitur spiritual Islami, membuat mereka “melihat dan merasakan” spiritualitas yang ada.
Menjelang akhir hayatnya, Abraham Maslow menyadari dan menemukan adanya kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu, yaitu yang disebut sebagai kebutuhan transcendental. Berbeda dengan kebutuhan lainnya yang bersifa horizontal (berkaitan hubungan antara manusia dengan manusia), maka kebutuhan transcendental lebih bersifat vertikal (berakaitan dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta). Muthahhari, Seorang filsuf muslim dunia yang menghasilkan banyak karya filosofis berharga– pernah menyatakan bahwa manusia itu sejati dan senyatanya adalah sosok makhluk spiritual.[13]
Maka tak aneh kalau kemudian muncul istilah Spritual Quantient (SQ) yang membahas ‘siapa saya’. Istilah SQ menjadi populer melalui buku SQ: Spritual Quotient,The Ultimate Intelligence (London, 2000) karya Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. SQ diklaim memiliki dasar dan bukti ilmiah. Pakar neurosains pada tahun 1990-an menemukan adanya “Titik Tuhan” atau God Spot di dalam otak. Titik Tuhan ini adalah sekumpulan jaringan saraf yang terletak di daerah lobus temporal otak, bagian yang terletak di balik pelipis. Dari eksperimen yang menggunakan sensor magnetis ditemukan adanya korelasi antara aktivitas berpikir tentang hal sakral seperti kedamaian, cinta, kesatuan, Tuhan dengan aktivitas magnet pada lobus temporal otak. Yang sangat sesuai dengan pembahasan dalammakalah ini adalah berkenaan dengan kebutuhan manusia terhadap spiritual
Berdasarkan kajian terhadap hakikat manusia, dapat dipahami secara filosofis alasan  manusia harus didakwahi. Manusia adalah makhluk yang mudah lupa (tempatnya salah dan lupa). Oleh karena itu, dakwah merupakan hal yang begitu penting bagi manusia, khususnya bagi mad’u sebagai media untuk mengingatkan dan meninjau atas hal-hal yang sering dilupakan manusia (ajaran agama). Tidak hanya untuk mad’u, tetapi penting pula bagi da’i sebagai bahan introsfeksi diri, mengingatkan kembali terhadap hal-hal yang ia lupakan.
  1. Ditinjau dari teori kebutuhan manusia
Dilihat dari teori kebutuhan manusia (kebutuhan spiritual), dapat dipahami pula bahwa manusia membutuhkan akan ketenangan jiwa. Salah satu caranya adalah melalui jalan ibadah. Manusia tidak akan mampu beribadah apabila tidak ada dakwah. Oleh karena itu, dakwah begitu penting bagi manusia.
Ada dua aspek makna pentingnya dakwah bagi manusia, yaitu:
a.  Memelihara dan mengembalikan martabat manusia
Dakwah adalah upaya para da’i agar manusia tetap menjadi makhluk yang baik, bersedia mengimani dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam, sehingga hidupnya menjadi baik, hak-hak asasinya terlindungi, harmonis, sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat terbebas dari siksaan dari api neraka dan memperoleh kenikmatan surga yang dijanjikan. Ketinggian martabat manusia itulah yang dikehendaki Allah SWT. Sehingga manusia dapat menjalakan fungsinya sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya, yaitu sebagai khalifah-Nya. Bukannya makhluk yang selalu menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah seperti yang dikhawatirkan oleh para malaikat.
Oleh sebab itu dakwah harus bertumpu pada tauhid, menjadikan Allah sebagai titik tolak dan sekaligus tujuan hidup manusia. Diatas keyakinan tauhid itulah manusia harus melakukan kewajiban menghambakan diri (mengabdi) kepada Allah yang wujudnya secara vertikal menyembah kepada Allah SWT., dan horizontal menjalankan sebuah risalah atau misi yaitu menata kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini karena dakwah adalah mengajak orang untuk hidup mengikuti ajaran Islam yang bertumpu pada tauhid. Diatas fondasi tauhid itulah Islam dibangun untuk dipedomani pemeluknya supaya hidupnya selalu baik dan tidak seperti binatang ternak atau makhluk yang lebih rendah dari binatang.
 b.  Membina akhlak dan memupuk semangat kemanusiaan
Dakwah juga penting dan sangat diperlukan oleh manusia karena tanpanya manusia akan sesat. Hidupnya menjadi tidak teratur dan kualitas kemanusiannya merosot. Akibatnya manusia akan kehilangan akhlak seperti nuraninya tertutup, egois, rakus, liar, akan saling menindas, saling “memakan” atau saling “memeras”, melakukan kerusakan diatas dunia, sehingga konstatasi malaikat bahwa manusia sebagai makhluk perusak di bumu dan penumpah darah akan menjadi kenyataan.
Tanpa adanya dakwah manusia akan kehilangan cinta kasih, rasa keadilan, hati nurani, kepedulian sosial dan lingkungan, karena manusia akan menjadi semakin egois, konsumeristis, dan hedonis. Manusia hanya akan mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memikirkan lingkungannya dan tidak peduli terhadap kesulitan dan penderitaan masyarakat lain. Manusia juga akan memanfaatkan apa saja untuk memuaskan hawa nafsunya.
Drs. Syukriadi Sambas, M.Si dalam bukunya memperinci kebutuhan manusia terhadap dakwah yaitu sebagai berikut[14]:
  1. Manusia telah bersyahadan ketika di alam roh bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Syahadah ini disebut dengan perjanjian ketuhanan (‘ahd Allah) dan fitrah Allah. Namun manusia menjadi lupakan perjanjian itu setelah ruh bersatu dengan jasad dalam proses kejadian manusia lahir di alam dunia. Dakwah islam ini diperlukan untuk mengaktualkan syahadah ilahiyah dalam kehidupan nyata
  2. Imam Syafi’i berkata:
Cahaya di dalamhati pluktuatif, kadang bertambah dan kadang berkurang”. Karena itu, dakwah diperlukan untuk mengantisifasi keadaan hati yang berkurang dan memposisikannya dalam keadaan bertambah.
  1. Dakwah Islam menjadi dasar dan alasan bagi akal untuk melaksanakan kewajiban beriman kepada Allah, sebab sebelum datangnya dakwah yang dibawa Rasulullah manusia tidak akan mendapat azab. (pendapat ‘Asy’ariyah Bukhoro)
  2. Karakter agama Islam itu sendiri yang mengidentifikasikan dirinya sebagai penyebar kasih saying Tuhan bagi seluruh alam, dan wilayah kerasulan Rasul terakhir berlaku untuk seluruh jagat raya. Dalam halini, Alla berfirman:
 “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Katakanlah: “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)”. (QS. Al-Anbiya: 107-108)
Selanjutnya, dakwah itu harus dilakukan karena alasan sebagai berikut:
  1. Potensi baik dan buruk yang Allah berikan[15]
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT berfirman:
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. As-Syams: 8)
Dalam ayat di atas dapat difahami bahwa manusia itu mempunyai potensi untuk berbuar baik dan buruk. Maka setiap orang memerlukan nasihat dan pendidikan yang maksimal berupa dakwah untuk mengoptimalkan kebaikan yang ada. Sehingga setiap manusia akan condong kepada kebaikannya, dan keburukan akan terminimalisasi.
  1. Lingkungan keluarga sebagai pendidikan pertama[16]
Rasulullah saw pun bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, dan orang tuanyalah yang mengarahkannya menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, lingkungan keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak-anak dalam membentuk akhlak, moral, dan kepribadiannya. Pendidikan dalam hal ini bisa disebut dakwah.
 C.    Akibat Ketika Manusia tidak Didakwahi dan Tidak Melaksanakan Dakwah
Melihat dan mengingat pentingnya dakwah bagi manusia berdasarkan hakikat manusia, hakikat dakwah dan teori kebutuhan manusia, maka akibat yang akan diperoleh manusia apabila manusia tidak didakwahi atau dakwah tidak dilaksanakan adalah sebagai berikut:
  1. Karena manusia pada hakikatnya pelupa, maka manusia akan tetap dalam kebodohan terhadap akhlak dan moralitas sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyyah.
  2. Manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya, yang memang sangat penting kebutuhan itu terpenuhi.
  3. Cahaya hati pada manusia selalu dalam keadaan berkurang
  4. Akal tidak akan dipandu oleh pengetahuan-pengetahuan agama (syari’at Islam), sehingga perilakunya cenderung mengikuti akal dan hawa nafsu.
  5. Eksistensi Tuhan tidak akan dikenal oleh manusia,karena melalui dakwah para utusan-Nya lah eksistensi Tuhan ada.
  6. Potensi baik pada manusia yang Allah anugrahkan tidak akan termaksimalkan, malahan potensi keburukan lah yang akan lebih menguasai, disebabkan oleh akal dan nafsu yang membimbingnya.